Rumah Kenangan

Bagaimanakah kita memaknai rumah? Apakah hanya sebatas ruang? Adakah jenis materialnya yang membuat istimewa? Atau luasnya yang membuat berbeda? Lantas bisakah makhluk bernyawa dianggap rumah?

Bagiku dan mungkin juga ada yang merasa sama, rumah tidak hanya tentang ruang namun tentang dimana nyamanmu bersandar, resah ditentramkan dan segala penat didamaikan.

Di suatu sore yang mendung di awal bulan Juni yang basah. Aku duduk bersandar di depan sebuah etalase kedai kopi yang bagiku sudah seperti rumah. Memandang bangunan di sekeliling yang menjelma kenangan. Tiba - tiba berkelebat tempat - tempat pun jiwa - jiwa yang pernah kuanggap rumah. Tempat menyinggah yang damai meski tak mungkin berharap keabadian.

Di tengah kediamanku yang menyesatkan, seseorang yang kini kupercaya sebagai tempatku pulang menyadarkanku untuk kembali. Namun kembaliku ternyata juga menyadarkan bahwa sebelum aku, dia juga punya ruang yang pernah disebutnya rumah. Kenangan tidak mungkin bisa dilipat dan ditiadakan, segelap apapun dan sehangat apapun bentuknya, akan tetap menjadi bagian yang mungkin akan menyisakan kepedihan pun kerinduan yang hanya bisa kita nikmati sendiri.

Lalu saat kesadaran itu menerpa dengan ganasnya, upayanya untuk membawaku kembali melemparku juga pada kenyataan yang mengingatkanku pada satu rumah yang pernah kupercaya dan kujadikan sandaran. Kenangan yang  lancang dan menghianati tuannya. Seperti sejatinya penghianatan, pasti menyisakan luka yang membinasakan kepercayaan, karena datangnya dari jiwa dan ruang yang pernah menjadi muara ketenangan. 

Dan pada pusat badai yang lahir dari kekecewaan, kusadari bahwa rumah dan kanangan hanyalah entitas absurd yang akan selalu membayangi perjalanan. Tak ada jaminan bahwa rumah akan menjadi pelabuhan terkahir yang damai, pun tak ada yang menjamin kenangan akan terkubur dalam diam yang sunyi. Lalu hidup ini jadi begitu rapuh dengan segala keterbatasannya. Tidak ada lagi ambisi karena tersadar bahwa hidup hanyalah sepotong kulit, tulang dan darah yang menjelma jiwa. Bahkan rumah - rumah itu dan kenangan - kenangan itu hanya dihubungkan oleh setarikan nafas yang kapan saja bisa henti. 

Bukan bermaksud untuk menyepelekan kehidupan. Namun ternyata memang tidak ada yang istimewa, kita semua hanya menyinggah. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penyesalan, kepura-puraan dan kehampaan. Mengembara untuk menemukan hidup, sepertinya lebih baik dibandingkan menetap dan merajut kekecewaan.

Kupandangi lagi dia yang saat ini masih menjadi salah satu rumah yang hingga saat ini masih bisa kujadikan ruang bersandar. Ntah sampai kapan, semoga untuk waktu yang panjang. 


Rumah kesekian - 8/6/23

Comments

Popular posts from this blog

LEWAT TENGAH MALAM

Tak Mampu Berpaling dari Makanan Enak dan Segala yang Lucu