Antara Pantai Labu dan Kota Tua
Agustus, dua tahun lalu
“Aku
ingin kita menikah, la.” Bisiknya.
Aku
Cuma bisa diam, merenungi keterbatasan kami. Menyesali takdirku yang terlahir
di keluarga yang begitu mementingkan nama dan reputasi untuk segala jenis
keputusan.
“Aku
tidak bisa, lan.”
“Kenapa?
Kau tidak benar-benar mencintaiku?” Ada rasa getir dalam suara pria itu, aku
sadar dia terluka.
Aku
menggeleng perlahan, dadaku sesak. Hamparan pantai membentang dengan riak-riak
ombak yang sesekali menjilati ujung jemari kaki kami. Bibirku tak kuasa jujur
untuk sekedar mengatakan bahwa ibu dan saudara sekandungku melabeli diriku yang
sudah sarjana ini dengan tarif sekurangnya dua puluh juta sebagai mahar. Belum
lagi biaya pesta dan ini-itu yang menyertainya.
“Lan,
tunggulah setahun lagi. Aku ingin bekerja, ingin membuktikan bahwa sekolahku
selama ini ada gunanya di kampung kita. Setidaknya sebuah koperasi agar
masyarakat tidak melulu menjual hasil melaut pada tengkulak.”
“Aku
bukan lelaki yang mengharuskan perempuannya berpingit di rumah, La. Meski aku cuma
tamatan sekolah rendah.” Alan berang, tubuhnya bergetar, suaranya menyimpan
marah yang kian besar.
Aku
menelan ludah, maghfum dengan temperamen Alan yang gampang tersinggung. Dulu
dia tidak begitu. Hubungan kami yang membuatnya berubah, tepatnya keluargaku yang
tidak bisa menerima Alan yang membuatnya
berubah.
Aku
hanya bisa menghela nafas, tak lagi menemukan kata. Sebenarnya, aku hanya ingin
mengundur waktu, agar mahar dapat di penuhi meskipun sepertiganya berasal dari
tabunganku.
“Besok,
akan ku temui orang tua mu. Akan ku buktikan bahwa aku serius mencintaimu.”
Alan menghampiri jalanya yang tergeletak bisu di batas pantai. Meninggalkan ku
yang tak lagi mampu melahirkan kata.
*****
Agustus, setahun lalu
Dari
ambang jendela kamar ku yang penuh aroma kamboja, masih dapat terdengar bunyi
ombak yang menyapu pantai. Sudah seminggu ini laut tak ramah pada nelayan,
ombak bergelung-gelung nakal sementara tetes hujan tak berkesudahan mengguyur
kampung.
Malam
sudah jauh, wajar jika udara begitu dingin menerobos lapisan kemeja tipis yang
membebat tubuh ku. Tiba-tiba saja, aku ingat Alan. Lelaki yang diusir keluarga
ku setahun lalu. Lelaki bodoh yang tak mau harga dirinya diinjak meski
alasannya cinta.
“Sudah
ku putuskan, La.” Ujarnya saat itu, tepat seminggu setelah lamarannya
dikotakkan kakak tertua ku.
“Jangan
Lan. Aku nggak sanggup pisah. Kita menabung saja dulu, setahun ini pasti
terkumpul.” Ku tatap matanya yang lelah. “Dan jika tidak juga direstui, aku
bersedia minggat dari rumah dan kawin lari dengan mu.”
Lelaki
berperawakan kurus dengan tinggi hanya sebatas dahiku itu menggeleng lemah.
“Aku ingin melamarmu dengan uang ku sendiri, hasil jerih payahku.”
Hari
itu aku nelangsa, sekawanan burung –ntah dari mana asalnya– melintas diatas
kepala kami. Mungkin mengabarkan bahwa lelaki ku itu tak akan pernah kembali.
Dia akan pergi ke suatu tempat dimana dentum musik menjadi penghias malam,
bukan ombak. Dimana lampu-lampu kota berwarna kuning kemerahan mengganti pendar
cahaya suar dan bohlam.
Aroma
kamboja kembali menguar, membuyarkan ingatan tentang Alan. Ah, andai saja
lelaki keras kepala itu mau mendengar ucapanku, mungkin kini kami tengah
bercengkrama menentukan tanggal pernikahan.
Tadi,
di tempat dimana Alan pernah dicaci maki ibu dan kakak, seorang lelaki yang
mengaku bernama Alan kembali melamarku. Namun dia bukan lelaki ku, dia rekan
membangun koperasi kampung yang kini menjadi pusat perdagangan warga, terutama
nelayan. Dia ambisius, pintar, pekerja keras dan juga keras kepala, persis sama
seperti Alan ku. Anehnya, ibu tidak menolak, sama halnya dengan kakak-kakak ku
yang tersenyum puas seolah berhasil menjual barang dengan harga yang mereka
inginkan. Apa mungkin karena Alan yang satu ini datang dengan mengantongi mahar
dua puluh juta beserta syarat ini-itu yang lainnya.
Yang
pasti aku menolak, karena aku perempuan.
******
Agustus, tahun ini
Duduk
ditemani secangkir kopi pahit. Masih memandang laut, ditemani langit senja
kemerahan dan camar yang juga masih setia terbang. Hanya saja, perahu nelayan
telah berganti phinisi, kapal yang meruncing pada salah satu ujungnya. Aku
menghela nafas panjang, entah sejak kapan, namun indahnya senja yang terhampar
di depan mata membuatku rindu rumah. Sudah seminggu ini Ila Rayana seorang
sarjana ekonomi yang lebih memilih membangun koperasi nelayan menjalani
hari-hari membosankan sebagai pemateri dalam diskusi pengembangan potensi daerah
bersama mahasiswa ekonomi seluruh Indonesia.
Mahasiswa-mahasiswa
itu, hanya sebagian yang merefleksikan ide dengan kenyataan, kemungkinan, dan
Tenaga satu orang. Kenyataan bahwa di negri ini semua orang ingin untung besar
dengan modal kecil. Kemungkinan penolakan dan waktu pengerjaan yang relatif.
Dan Tenaga satu orang yang sederhananya, kotakkan saja ijazah S1 mu, persetan
dengan teori di buku. Intinya Cuma satu, kau mau kerja, mau kotor dan siap
dicaci-maki. Itu saja.
“Melamun
mbak ila?”
Aku
menoleh ke arah asal suara. Ternyata Bona, pemuda dua puluh dua tahun yang
sangat mengingatkan ku pada diri ku dulu. Penuh semangat dan harapan, hanya
saja rapuh dan merasa sangat bersalah jika melakukan kesalahan.
“Mbak
suka suasana pantai?”
Aku
menahan gelak saat pria bertubuh mini itu bertanya dan memutuskan duduk
disamping ku. Pertanyaan itu jelas bodoh, bukankah aku gadis pantai??
“Kamu
pernah ke Medan?” aku balik bertanya tanpa melepas pandang pada sebuah titik
hitam yang ku yakini perahu nelayan.
“Belum,
tapi saya punya teman di sana.”
“Saya
gadis dari pesisir nya. Sebuah tempat yang jarang di kenal orang. Suasananya
sama seperti disini, hanya di sana jauh lebih amis.” Pria disampingku itu
mengerutkan dahi.
“Di
sana jauh lebih banyak nelayan ikan dibanding gelondongan kayu. Lebih cocok
untuk merealisasikan ide tentang pasar
ikan internasionalmu.”
“Yah,
tapi sunda kelapa ini memang indah ya mbak.” Bona mengalihkan pembicaraan. Aku
sadar dia malu pada ku, terlebih pada idenya sendiri. Karna ide itu terlahir
dari ambisi individu, dan tidak mempertimbangkan warga yang bergantung hidup
padanya. Padahal, nafas dari sebuah ide adalah masyarakat yang bermukin di tempat
di mana ide itu akan diterapkan.
“Ya.”
Lalu senyap diantara kami sebelum akhirnya bunyi alat berat pengangkut kayu
memecah hening.
“Saya
agak laper, mau cari cemilan. Mbak mau ikut?”
Aku
menggeleng, “Masih pengen di sini, Seminggu ini agak melelahkan.”
“Mbak
memang agak lain saya lihat. Kurang rileks.” Pemuda itu malah mengurungkan
niatnya untuk beranjak dan kembali duduk di sampingku. “Pasti selama seminggu
ini mbak nggak pernah keliling buat refreshing?”
Sebenarnya
aku ingin tergelak mendengar pernyataannya. Ini yang kedua kali dia mengatakan
sesuatu yang menurutku sangat lucu. Bukankah aku datang ke kota ini untuk
berdiskusi dan mengikuti serentetan seminar dan pelatihan? Lalu mengapa perkataan
semacam itu harus lahir dari bibirnya. Aku memilih diam, tapi pemuda jebolan
universitas elit Jakarta ini tidak.
“Saya
saranin satu tempat bagus buat mbak kunjungi. Nggak jauh kok. Kalau dari sini,
jalan kaki juga bisa. Yuk, saya antar.”
Ntah
apa maksud pemuda ini. Merayu ku? Tapi untuk apa? Menjebak ku? Apa untungnya
untuk dia. Atau mungkin, anak muda satu ini memang ingin membantu ku,
menghilangkan kegundahan hati.
“Saya
kurang suka keramaian, sendiri jauh lebih bisa menenangkan.” tolak ku halus,
takut juga terlalu ketus di kampung orang.
“Ya
sudah kalau begitu, tapi kalau mbak berubah fikiran, coba saja susuri jalan
itu.” Tawarnya sambil menunjuk salah satu jalan, “Nah, nanti tinggal
Tanya-tanya saja sama pedagang atau pejalan kaki, pasti pada tau. Sebut saja
kota tua. Gimana?!”
Aku
hanya mengangguk mendengar tawaran nya, sama sekali tidak berniat untuk
beranjak.
Namun
saat Senja sudah jauh pergi, meninggalkan malam pekat tanpa bintang. Aku
berubah fikiran. Tiba-tiba saja keinginan itu muncul, sesaat setelah sebuah
sedan hitam meluncur tepat dihadapan ku. Ku sempatkan bertukar sapa dengan
beberapa pedagang disekitar sunda kelapa. Mereka bilang, tempat itu memang
tidak jauh. Jadi, di sinilah aku. Menapaki terotoar sembari menikmati
kekosongan yang ada dikepalaku.
Sudah
lama rasanya, tidak menikmati waktu. Memaknai tiap detik yang tersisa sebelum
Tuhan menjemput untuk pulang. Mungkin sejak kepergian Alan, karna hanya
bersamanya waktu seakan henti, dan kekosongan itu malah mendekatkan hati kami.
*****
Kota Tua
Kharismatik,
itu perasaan yang dapat ku tangkap. Bersama kerlap-kerlip lampu yang berasal
dari café-café bergaya elegan dan santai. Aku memutuskan memasuki salah satunya
dan memesan secangkir kopi pahit.
Aku
memang mengidolakan minuman satu ini, ntah sejak kapan. Tapi mungkin sejak
kepergian Alan.
Kopi
terhidang, dan aku kembali tenggelam dalam lamunan sebelum akhirnya seorang
pria muda dengan penampilan eksekutif muda meminta diri untuk duduk
disampingku. Meski sedikit kikuk, ku iya kan saja permintaannya.
“Sendirian
Mbak?”
“Ya.”
“Saya
Lukman. Baru pertama kali ke sini?”
Aku
mengangguk.
“Tempat
ini memang bagus. Mbak nggak akan kecewa.”
Aku
tersenyum hambar, lelaki di depan ku ini mirip sales kartu kredit gayanya.
“Kalau
saya nggak salah tebak, pasti mbak ini sedang nyari hiburan untuk selingan
rutinitas yang melelahkan!” Pria di depan ku itu menegakkan duduknya.
Aku
semakin yakin jika makhluk di depan ku ini memang punya maksud terselubung,
jadi ku jawab asal saja pertanyaannya. Hampir satu jam kami berbincang
ngalor-ngidul tak jelas, hingga akhirnya tercetuslah pertanyaan itu.
“Coba
mbak lihat, pria yang sedang melukis di dekat trotoar itu. Sepertinya cocok
kalau jalan sama mbak.”
Aku
kaget mendengar ucapan lelaki itu, berani benar dia. “Maksud anda apa?”
“Dia
humoris dan cukup pandai memperlakukan wanita, anda pasti suka!”
tentu
saja aku merengut. Ternyata ia berjualan manusia dan berharap aku mau menjadi
salah satu pelanggannya. “Maaf, Saya tidak berminat.”
Lalu
aku meninggalkannya begitu saja. Meski samar masih ku dengar umpatannya “Duduk
di café ini sendirian dengan mata liar memandangi laki-laki, tapi tidak
mengaku. Dasar munafik.”
Ingin
sekali ku gampar mulutnya, tapi sudah lah. Aku berjalan menjauhi tempat itu,
berharap ada taksi untuk kembali ke penginapan. Sambil berdiri resah dengan kaki
yang sesekali ku ayun-ayunkan. Mata ini menangkap sesosok tubuh wanita
menghampiri pria yang baru saja di tawarkan padaku. Mereka berbincang sejenak,
lalu beranjak. Pria itu santai saja mengikuti wanita di depannya, menuju mobil
yang secara sangat kebetulan-mungkin ditakdirkan tuhan-berada tepat di depan
ku.
Dan
aku tak mungkin salah mengenali. Mata yang selalu menatapku di ujung senja
pantai kami. Bibir yang pernah beberapa kali mencium puncak kepala ku. Hanya
wajah itu tak setirus dulu. Wajah yang selama dua tahun ini ku rindukan.
“Alan.”
Meski tidak ada hujan, namun bibir ku getar menyebut namanya.
Lelaki
itu menoleh, wanita itu juga. Ada gurat kecewa di wajahnya. Ada kepedihan di
matanya. Namun aku yakin dia mengenaliku. Bahkan seandainya tak ada lampu, pun
jika bulan dan bintang berhenti berpijar malam itu, kuyakin dia pasti
mengenaliku. Cukup lama kami terdiam. Sebelum akhirnya wanita yang sedang
bersamanya itu menggamit lengan Alan dan menggiringnya masuk ke mobil. Sempat
ku tangkap bait-bait pisah yang meluncur lewat mata Alan. Sebelum akhirnya
lelakiku yang kini menjadi lelaki wanita itu memutuskan untuk beranjak pergi dan
benar-benar meninggalkan ku. Memilih untuk tidak kembali pada ku. Mungkin karena
dia lelaki.
Medan, 9 Agustus 2010
Comments
Post a Comment