Travelling ke Pulau Banyak I (Pulau Balai dan Keragaman Budaya)

Berasa langit dan lautan menyatu kan ya?
 Saya dan teman-teman berangkat dari Medan pada pukul delapan malam. Namun perjalan kami agak terhambat dikarenakan macet parah. Putra, salah seorang teman yang ikut dalam perjalanan ini, baru bisa menyalurkan hasrat berkendaranya sesaat selelah melintasi kawasan Berastagi.

Namun perjalanan kami lagi-lagi melaju lambat saat kendaraan memasuki perbatasan Aceh Singkil dikarenakan kabut yang mulai tebal dan jalanan yang berkelok-kelok. Pada pukul tiga dini hari, kami tiba di Aceh singkil. Karena sudah terlalu larut malam, kami tidak bisa langsung menyebrang untuk menjelajahi Pulau Banyak. Namun jangan khawatir, ada banyak penginapan yang dapat dipilih sebagai alternative dengan harga seratus hingga seratus lima puluh ribu rupiah semalam. 

Tapi kali ini kami lebih memilih untuk menerima tawaran Acong, salah seorang teman yang kebetulan orang tuanya bermukin di dekat pelabuhan. Teh manis dan kue khas aceh singkil yang bentuknya menyerupai serabi menghangatkan obrolan kami dini hari itu. Orang tua acong menanggapi pertanyaan kami mengenai tempat yang akan kami tuju dengan ramah.

“Kalau mau ke sana, nyebrang pakai kapal. Empat jam lah, ongkosnya paling dua puluh ribu .” jelas ibu Acong

Dari penjelasan ibu Acong selanjutnya, kami lantas memutuskan untuk menyinggahi Pulau Balai terlebih dahulu, karena dari situlah para pengunjung dapat lebih mudah mengakses pulau-pulau yang lain. Karna pulau banyak adalah kepulauan yang terdiri atas 62 pulau, maka kami tidak mungkin mengunjungi semuanya sekaligus. Kali ini cukuplah saya puas mengunjungi beberapa diantaranya saja.
Batuan yang diduga kristal :D
Esoknya kami berangkat menuju Pulau Balai pada pukul sepuluh pagi menggunakan kapal yang lumayan besar. Namun karena saya dan teman-teman tidak terbiasa dan tidak mahir berenang, kami memutuskan untuk mengenakan life jacket yang memang kami persiapkan dari Medan. Akhirnya penampilan kami yang mungkin menurut warga setempat agak ‘ajaib’ itu menjadi tontonan dan membuat salah seorang ibu-ibu berkomentar “Ngapain pake-pake itu, dek? Aman ini. Kemaren pun pas kapal sekencang-kencangnya paling masuk aja air itu, nggak bikin terguling. Ombaknya memang tinggi tapi nggak pernah bikin terguling.”      

Luar biasanya, pada saat perjalanan itu kapal kami diikuti oleh lima ekor lumba-lumba, meskipun saya hanya sempat melihat bagian ekornya saja. Empat jam kami habiskan hingga akhirnya sampai ke Pulau Balai. Saya agak kaget saat melihat kerapian dan kebersihan penduduk di pulau ini, mengingat bahwa penduduk pulau ini didominasi oleh nelayan. Tampaknya sudah ada kesadaran akan wisata di tempat ini.

Namun satu hal yang saya sayangkan, saya melihat bahwa batu-batu yang diletakkkan di depan rumah kebanyakan adalah karang yang diambil dari laut, meskipun menurut warga karang-karang itu adalah karang mati yang diangkat oleh nelayan. Kebanyakan karang mati itu diakibatkan oleh pengeboman karang dan pukat-pukat besar yang dulu sering beroperasi di sekitaran pantai pulau Balai.
Kalau di Pulau Balai, ikat cincinnya pakai kayu bahar
Hal menarik lain dari pulau balai adalah penduduknya yang beragam. Dari sekitar 800 kepala keluarga yang menghuni pulau ini terdapat berbagai suku diantaranya suku aneuk jamee dan suku haloban yang memiliki bahasa yang cukup unik. Beberapa patah kata yang berasal dari suku aneuk jamee ini terkesan campuran antara bahasa suku padang dan melayu. 

Pantai di pulai Balai ini cukup tenang dan tidak berombak sehingga saya dapat melihat ikan-ikan kecil berwarna-warni yang berenang di pinggir pantai dengan mudah. Namum karang di pesisir pantai tidak terlalu bagus, pengunjung harus naik boat sekitar sepuluh menit baru bisa melihat karang-karang yang tidak terlalu rusak. Jadi bisa dikatakan pulau Balai ini tidak terlalu cocok untuk para pencinta snorkeling.

Terakhir yang menarik minat saya di Pulau ini adalah para pengrajin cincin. Tidak seperti cincin pada umumnya, alih-alih batu pengrajin di pulau ini menggunakan kerang beraneka warna sebagai mata cincin dan kayu bahar sebagai pengikatnya. Dibutuhkan tiga hari untuk menempah satu buah cincin dengan biaya delapan puluh ribu. 

Pulau Balai ini benar-benar tidak hanya menyajikan keindahan panorama pantai, namun juga keberagaman budaya lokal yang tidak di miliki semua tempat yang pernah saya kunjungi.

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Kenangan

Napak Tilas Menulis Blog

Tak Mampu Berpaling dari Makanan Enak dan Segala yang Lucu