LEWAT TENGAH MALAM
Biarlah semuanya lenyap sekejap seperti senja yang ditelan malam, pun malam yang akhirnya diusir pagi.
Lewat tengah malam, menjelang pagi. Tersentak bangun dan mendapati bahwa
kau tidak sedang tidur disebelah ku. Sendiri, berkawan makhluk mencicit yang
berkeliaran di lorong menuju toilet. Aku sadar, aku kesepian.
Aku kembali merebah. Menempelkan kepala pada bantal coklat yang biasanya
kita perebutkan. Lalu saat kau mengambilkan segelas air putih, bantal itu sudah
menempel erat dikepalaku. Kau hanya bisa tertawa, mengusap-usap puncak kepala
lalu mengecup kening.
Dan besoknya, saat mataku merekah. Kau sudah melingkar di sebelah ku.
Tertidur seperti kucing malas yang dipenuhi tahi mata dan rambut yang seperti
kawat berkarat.
Aku merapatkan selimut. Akhir bulan maret yang sangat lembab. Hampir
setiap malam, lampu padam dan hujan membasahi genting-genting rumah. Terkadang
bunyi tetesannya sangat nyaring, membangunkan pemimpi yang kelelahan memburuh
di pabrik kapitalis. Dibayar dengan gaji yang hanya cukup untuk beli makan,
buang hajat dan tidur selama enam jam. Aku mendengus, hujan masih turun, dan
kau masih tidak sedang tidur disebelah ku.
******
Pagi datang lebih lambat dari yang kubayangkan. Mengambangkan udara
sehabis hujan yang membuat gigil. Hewan-hewan mencicit sudah terbangun sejak
tadi, atau bahkan tidak tidur sedetikpun. Mulai berkeliaran sejak malam merayap
mendekati pagi. Mencari apa saja yang dapat dimakan, di curi, bahkan terkadang
hanya sekadar untuk dikerat.
Tapi aku masih bergelung dalam bed cover tebal motif polkadot kesukaan
kita. Membayangkan wajah mu yang memerah karna geli. Dan aku bertambah semangat
menggelitiki pinggangmu yang kurus seperti penderita anorexia.
Kucing hitam kita mengeong-ngeong di dapur. Dia pasti lapar. Aku
beringsut malas menuju buffet kayu di pojok kamar. Biasanya, ini tugasmu. Memberi
si Murung makan dan menungguinya berjemur sebelum matahari sampai di puncak
kepala.
Dia –seperti yang sedang kubayangkan- bergelung disamping penanak nasi.
Selalu begitu jika sedang merajuk. Aku jadi ingat kau yang sedang diare bulan
lalu. Bersembunyi dalam bebatan lima
lembar pakaian yang membuatmu seperti bantal.
Murung makan dengan lahap. Matanya mengejekku. Menurutku, kau terlalu
memanjakannya. Selalu menyodorkan makanan dan membelai-belai tengkuknya. Dia
jadi lupa cara berburu tikus. Padahal, tikus-tikus tidak pernah lupa untuk
mencuri dan menggerogoti perkakas rumah ini.
Aku meninggalkannya. Memutuskan untuk memulai membenahi pakaianmu yang
tersisa. Menyelusupkan semuanya kedalam kantongan plastik berwarna hitam. Tentu
saja hitam, agar isi yang berada didalamnya tidak terlihat dari luar.
“Aku benci warna hitam.” Ujar mu saat kau masih sering tidur di sampingku.
“Terlalu gelap.”
Saat itu, aku hanya mengiyakan. Karna bukan pendapatmu yang ingin kuperdebatkan.
Masih ada lain kali untuk kita, untuk berbincang masalah benar dan salah. Saat
ini cukuplah kita habiskan untuk saling bertukar aroma tubuh hingga murung
membangunkan kita dengan menggesekkan bulunya yang halus pada rongga telinga
yang terbuka.
Kantongan plastik hitam yang berisi bajumu sudah kusisihkan. Kusatukan
dengan kantongan berisi sisa makanan yang nantinya di kutip petugas kebersihan.
Biarlah semuanya lenyap sekejap seperti senja yang ditelan malam, pun malam
yang akhirnya di usir pagi.
******
“Aku harus pergi.” Ujarmu.
Dan aku menjadi kaku. Seolah ucapanmu adalah tabu.
“Istriku curiga.” Kau menatapku seolah pertemanan kita hanya sebatas
sapa.
“Bukannya sudah sejak lama?” Aku mencoba tegar. Menatap nanar pada gelas
kaca dihadapanku. Awalnya gelas bening itu hanya berisi cairan yang juga bening,
lalu bubuk teh menjadikannya coklat pekat dan berasa pahit. Tanpa gula yang
dipaksa larut, cairan itu hanya akan teronggok tanpa seorangpun berniat
meminumnya.
Sama seperti aku yang kau temukan dalam ketidaktahuan dan kebimbangan.
Serupa cairan bening yang terlalu membosankan. Kau memberiku warna. Bukan
Merah, biru, hitam atau perak. Tapi coklat pekat. Coklat karena aku
menyukainya.
“Kali ini, dia minta cerai.” Kau mengucapkan kalimat itu, tanpa merasa
harus menatapku. Tanganmu sibuk membelai tengkuk murung yang bergelung di
pahamu.
“Bukannya bagus? Kita tidak perlu kucing-kucingan seperti ini.” Kuletakkan
segelas teh manis yang masih mengepul di sebelahmu. “Sejak dulu, kau mengeluh
atas perlakuan kasar istrimu kan?”
Kau diam. Memandang ke arah dapur, lalu pada murung, tapi tidak padaku.
“Aku tidak ingin kehilangan anak-anak.” Jawabmu, seolah kau adalah pesakitan
yang tidak memiliki pilihan.
Sering kali saat kau masih tidur disampingku, kau berbisik. Kau
menginginkan bayi dari rahimku. Tapi sesering itu pula kau memintaku untuk
menggugurkannya.
“Aku bisa melahirkan banyak anak untukmu.” Kali ini, kau tidak menjawab.
Murung mulai lelah melingkar dipangkuanmu. Dia meloncat turun lalu duduk
memandangi kita. Sama seperti murung yang bosan, aku pun sama. Kau selalu
datang membawa janji, lalu pergi meninggalkan benci. Tapi tiap kali kau
memutuskan untuk tidur disampingku, aku memaafkanmu.
Bukan karna perhiasan, pun deposito yang kau berikan. Meski tidak pernah
aku menolak saat kau memberikannya. “Masalahnya bukan sebatas ingin punya anak.
Tapi menjaga perasaan mereka yang sudah dilahirkan.” Kau akhirnya buka suara.
“Kau tidak seharusnya ragu dengan perasaanku. Dan kau pun sudah terlalu
bosan kujejali keluh kesah tentang seberapa tersiksanya aku menjadi suami dari
perempuan yang ku nikahi tujuh tahun yang lalu itu.” Kau mengambil napas
panjang lalu menghembuskannya. Udara di sekeliling kita pengap. “Anak-anakku
tidak bersalah. Mereka tidak minta dilahirkan di keluarga yang setiap hari
hanya bertengkar. Mereka sudah terlalu lelah dijejali carut-marut makian disaat
seharusnya mereka memperoleh kecupan sebelum tidur di kening.” Lalu hening.
“Aku sudah terlalu sering menyakiti mereka. Perceraian hanya akan membuat
mereka tambah tersiksa.”
“Kau fikir, aku tidak?” sungutku, kali ini aku menatap matanya. Wajah
kami bersisian. Hembusan nafas kami saling beradu. Tidak kuberi ruang untuk mu menghilang.
“Maafmu tidak ku terima. Kau tidak boleh pergi.”
“Aku harus.”
“Tidak ku izinkan.”
“Kau harus.”
Lalu aku nanar. Sudah sejak lama kita bercengkrama
dengan benar dan salah. Membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Lalu
tiba-tiba kau basah, api berkobar. Kau menyala** April 2011
- Ayu Lestari -
April
2011
Comments
Post a Comment