MAKAN (cerpen)

“Lapar kak.” anak lelaki itu bergelung dibalik selimut.
Seorang wanita muda membawakan sepiring nasi yang masih mengepul. Ditangan kirinya, dia menggenggam sebotol kecap dan seplastik kerupuk ikan berwarna putih.
“Kerupuknya jangan dihabiskan ya. Sisakan untuk besok.” Anak laki-laki itu mengangguk. “Kalau besok nggak hujan. Mungkin banyak yang beli es bikinan kakak.” Lagi-lagi lawan bicaranya hanya mengangguk.

*****
“Jangan dimakan.” Teriakanku ternyata mengejutkan si bungsu. Kue kering ditangannya jatuh, tepat dibawah genangan lumpur berwarna kecoklatan. Matanya menyiratkan pertanyaan.
“Kue itu sudah jorok. Nanti kamu sakit perut.”
“Tapi aku lapar, Mak.”
“Sebentar lagi kita sampai.” ucapku memberi semangat. Jalan yang kami lalui memang agak becek. Hujan berkepanjangan di kota ini menyebabkan genangan air dimana-mana, bahkan, banjir. Seminggu yang lalu, kampung kami di kepung air. Lalu seketika rumah-rumah tergenang termasuk tempat tinggal kami.
“Capek Mak.”
“Rumahnya sudah dekat. Di sana kita bisa makan.” tegas ku. Sejak banjir, kondisi keluarga kami yang susah jadi bertambah susah. Panganan yang biasanya mudah di jumpai seolah bersembunyi. Sudah dua hari anak ku ini tidak makan. Bagaimana tidak, sumber makanan terendam banjir. Buah-buahan membusuk, roti berjamur. Dan kemarin, aku memergoki bungsu yang sedang mengunyah nasi yang sudah beraroma asam.
Sebagai seorang ibu, hatiku pedih melihatnya. Aku seolah tidak memiliki pilihan. Dan disinilah kami akhirnya, menapaki jalanan becek menuju pemukiman terdekat untuk memncoba peruntungan.
Rumah di depan kami tidak besar. Bentuknya menyerupai kotak sabun, sedangkan dindingnya sudah berjamur. Aku mendahului anak ku, berdiri sejenak di depan pintu.
Aku menguatkan diri bahwa apa yang ku lakukan tidak salah. Pilihan ini kuambil agar anak ku tidak kelaparan dan mati. Aku kembali menguatkan diri dan menahan tangis yang hampir mengalir. Bungsu mendekati ku, bersembunyi dibalik bokong.
“Jangan ribut bisik ku.” Bungsu mengangguk.
Aku berjalan setengah berlari, mengendap-endap memasuki rumah itu. Seorang anak laki-laki terlihat sedang menulisi sebuah buku kucel berwarna kecoklatan. Noda air di buku itu jelas terlihat bahkan dari tempat ku melihat. Kami melewatinya.
Di dapur, seorang wanita muda sedang mencapur air dengan cairan berwarna merah dari dalam sebuah botol kaca. Aku menghentikan langkah, membuat bungsu menabrak punggung ku. Aku sudah akan marah, jika saja tidak melihat matanya yang sembab.
“Kenapa?” bisik ku
Bungsu menggeleng. “Takut Mak.”
“Tidak apa. Jangan takut. Kamu tunggu di luar saja. Biar mamak yang ambil makanannya.” Ujarku masih berbisik. Bungsu menggeleng. Dari tatapannya, aku tahu. Dia lebih takut ditinggal di luar. Karna bukan manusia-manusia itu yang ditakutinya. Tapi dia pasti tidak rela dan kuat melihat ku tertangkap.
Ku tatap matanya lekat-lekat. Saat ini, aku tidak takut apapun dan siapapun. Asalkan anak ku bisa makan, itu saja.

******
“Kak.” Anak laki-laki berwajah lonjong mendatangi kakaknya yang tengah mengolah es.
“Sudah selesai ngerjain PR?”
Bocah yang ditanya itu hanya menggeleng. “Besok, uang sekolah harus lunas kak. Yang belum lunas, nggak boleh ikut ujian.”
“Nanti kakak usahakan ya. Kalau nggak ada, bayar separuh saja dulu.”
Si bocah diam. Duduk pada kursi yang berada si samping kakaknya. “Kenapa lagi?”
“Kalau belum lunas, nggak boleh ujian.”
Si kakak memandang bocah sebelas tahun di hadapannya. Antara kesal dan iba. Tapi yang mereka punya saat itu hanya sekaleng beras, kerupuk ikan sisa semalam dan sebotol kecap.
Dua puluh dua ribub lima ratus biaya sekolah sebulan. Dikalikan tiga karena sudah menunggak. Enam puluh tujuh ribu lima ratus jumlahnya. Ntah harus dicarinya kemana. Sementara awan hitam datang lagi. Dan es di dalam teko mulai mencair.
“Kakak usahakan.” Gadis itu tidak ingin lemah dihadapan si bocah.
“Sekarang pergi mandi dan ganti baju. Setelah itu makan.” Bocah lelaki itu mengangguk. “Nanti kita berangkat sama-sama.”
*******
Di dalam lemari makan berdaki itu, hanya ada semangkuk nasi dan kerupuk ikan di dalam pelastik panjang yang masih terikat erat. Dari pantulan kaca, aku  melihat bocah itu. Begitu kurus dan kerdil. Dia sedang mematut-matut wajahnya yang kuyu pada sepotong kaca retak yang rekat di dinding. Kakaknya ntah ada dimana. Terakhir, aku melihatnya membawa dua baskom silinder yang masing-masing berisi cairan es dan pecahan bongkahan es yang pastinya sudah mulai mencair.
Lalu pandangan ku beralih pada si bungsu. Wajahnya sembab dan kelihatan kurang gizi. Matanya besar dan selalu berarir. Jari-jarinya kurus dan mengeriput. Dia harus makan hari ini.
Pada saat seperti ini, aku biasanya murka. Menyesali hidup yang harus mencuri. Sering kali, aku memilih mengais tong sampah dan memakan remah-remah nasi bungkus. Jika beruntung, aku akan menemukan sebongkah paha ayam yang baru dimakan setengah. Meski kurang sehat, makanan itu terasa nikmat.
Tapi hari ini berbeda. Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, banjir menenggelamkan semuanya. Bukan hanya kami yang kesusahan. Tapi juga manusia, yang hidup berdampingan dengan kami. Tong sampah hanya berisi bangkai busuk dengan bau yang menusuk. Tidak ada remah makanan, pun sisa-sisa sayuran. Karna mereka pun pastinya kelaparan.
Aku melamum untuk sepersekian detik yang berharga. Masih melamun jika bungsu tidak memberi tanda. Bocah kurus mendekati lemari makan -tempat dimana saat ini aku berada-, Aku kalap. Ku julurkan jari-jariku menyentuh bulir-bulir nasi. Pintu lemari makan terbuka. Bungsu menutup mata.

*******
“Kak ada tikus di nasi.” Anak lelaki bertubuh kurus menjerit, memanggil kakaknya.
Terdengar suara langkah tergopoh-gopoh menuju dapur. Seekor tikus tanah seukuran kepalan tangan melompat dari dalam lemari. Terguling saat menyentuh ubin yang dingin.
Wanita muda sampai di dapur tepat disaat tikus itu berhasil kembali berdiri. Dengan keempat kakinya yang kurus, tikus itu melewati tungkai kaki si gadis, disusul tikus lain yang jauh lebih kecil. Keduanya berlari menuju jalan setapak.
“Kak, nasinya sudah dimakan tikus.” Si bocah berdiri mematung sambil mendekap piring plastik di dadanya.
“Nggak apa-apa. Masih bisa dimakan.” Si gadis menyendokkan nasi pada piring adiknya. Petir pecah, hujan turun. *****

Ayoe Lestari
April 2011



Cerpen ini pernah dimuat di Harian Analisa Medan

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Kenangan

Napak Tilas Menulis Blog

Tak Mampu Berpaling dari Makanan Enak dan Segala yang Lucu