BATU (cerpen)
![]() |
Ilustrasi - Doc Kreatif |
Dalam dunia 8x10 meter aku terdiam, membeku, tak lagi mampu
memburu waktu. Sekelilingku juga sama, jiwa-jiwa yang tlah membatu dan tak
mampu memburu waktu. Dalam satu garis horizontal kami bertemu, membentang busur
pandang di satu titik temu.
Sekelebat cahaya mendistorsi ingatanku, menarik-narik nalar
ke lorong waktu, dimana dulu jiwaku belum jadi batu. Dimana sulur-sulur nadi
yang berdetak, dialiri nafsu tuk berburu masa depan.Tapi sekarang aku tlah
bertransformasi jadi batu, dan batu adalah batu, tak mampu apa-apa kecuali
memandang di satu titik semu.
Sepuluh hari, empat minggu, enam bulan, satu tahun, dua
bulan, tiga minggu, empat hari, aku mulai lelah. Lelah karna hanya memandang
tak mampu bicara, lelah karna selalu salah meski tak ucapkan apa-apa, lelah
karna berfikir sesuai fakta pun sudah tak bisa. Tapi aku resah, sekelilingku
tak ada yang berubah. Batu-batu disekelilingku tak ada yang terlihat lelah,
mereka bahkan nyaman memandang di satu titik semu yang tak pernah berubah.
Duhai Tuhan, seluruh persendianku benar-benar telah lelah.
Ingin ku palingkan wajah menuju sudut diagonal yang selama ini hanya mampu ku
lirik resah. Tapi urat leherku terlalu lama terdiam hingga lupa caranya
digerakkan. Hingga akhirnya aku kembali diam, diam dalam keterbiasaan. Karna
aku takut ditertawakan, aku takut jadi bahan ledekan, takut juga meninggalkan
prinsip kebatuan yang selama ini ditanamkan leluhur-leluhurku sesama batu.
Terlebih aku takut dikucilkan hanya karna ingin suarakan hak bicaraku yang
selama ini terpasung ketakutan. Akhirnya
kembalilah aku menjadi batu dalam detik-detik kejemuan.
Waktu kembali berputar, jarum jam tak henti mendetakkan
keraguan. Dalam rentang waktu yang tak lagi mampu ku hitung tangan, kulalui
semua dalam diam. Ku lirik sekitar, jiwa-jiwa yang mengelilingiku benar-benar
tlah membatu dibentuk zaman. Tapi aneh, dulu masih ku mengerti bahasa mereka,
hingga terkadang bisa menangis bersama. Kini semua tak lagi sama, bukan hanya
diam membatu, mereka juga tak lagi peduli pada dunia luar selain dunia yang
8x10 meter itu. Ku lirik jemu pada
batu-batu yang tak lagi mengenali suaraku. Tapi aku bisa apa, karna aku pun
cuma batu, dan batu hanya mampu memandang di satu titik semu.
Hingga akhirnya aku terperangah, batu di ujung jendela
dihantam godam hingga berderai, impiannya berhamburan tutupi lantai. Duniaku
jadi gaduh, meski batu tak mampu bergerak dan teriak, tak urung kami tersentak.
Tiba-tiba saja teman kami berhamburan, tiba-tiba saja kami kehilangan.
Dari tempatku membatu, kupandangi godam yang mematroli
batu-batu. Seiring waktu, dia mulai menghantami teman-teman ku. Duniaku jadi
bertambah lapang, batu-batu berhamburan dilantai dan godam tampak seperti
setan. Akhirnya aku membatu. Sedang zaman terus berputar, butuh lebih banyak
ruang untuk kumpulkan jiwa-jiwa baru yang harus dibatukan. Bukankah tak ada
yang takuti batu, tak juga ada yang peduli pada batu dan tentu saja, tak ada
yang butuhkan batu. Karena batu adalah batu, yang mampunya hanya memandang di
satu titik semu.
Tiba-tiba aku tersentak,memandang serpihan batu yang banyak
berserak. Aku tak bersedia menunggu untuk utuh membatu, bila nantinya hanya
akan dileburkan sebagai penutup lantai. Ku paksa lenganku menggapai udara, ku
paksa mulutku bicara, bahkan ku haruskan leherku memandang sudut diagonal yang
selama ini hanya mampu kulirik ragu. Anehnya, tawa yang selama ini ku takutkan,
tak lagi penting dalam sebongkah keyakinan.
Ditengah sakit yang menggila atas pergerakan tiba-tiba,
jantungku mulai berdetak. Detak pertama membuat godam menoleh resah, detak
kedua mengharuskan dia mempercepat langkah, dan detak ketiga membuatnya yakin
untuk membuatku bersimbah darah.
Darah?? Aku berdarah, bukankah batu tak berdarah??
Duhai Tuhan, Aku bahagia berakhir begini. Hanya satu saja
sesalku, selama ini untuk apa aku menunggu?
Ketika kebenaran dibelenggu, dan
kita hanya bisa diam
______________
Majalah Pers Mahasiswa Kreatif Unimed
Comments
Post a Comment