Menyusuri Eksotisme Gua Kampret
Liburan
kali ini, saya dan beberapa teman dari medan
memutuskan untuk mencari suasana baru. Jika biasanya kami menghabiskan
akhir pekan dengan menjajal kemampuan menaklukan gunung, air terjun atau
sekedar bersantai di pesisir pantai, kali ini kami mencoba menyusuri gua.
Pilihan
kami jatuh pada gua kampret (bat cave), alasannya tentu saja karena tertarik
untuk melihat kampret atau biasa juga disebut kalelawar dari jarak dekat.
Seperti yang kita ketahui, kalelawar adalah hewan nocturnal yang sangat
menyukai tempat-tempat gelap dan lembab, dia juga terbiasa berburu di malam
hari.
Dengan
menggunakan tiga sepeda motor, saya dan teman-teman pun bertolak dari medan.
Sekitar pukul dua belas siang, kami tiba di pintu gerbang (loketing) bukit
lawang. Sekedar informasi, di bukit lawang terdapat banyak sekali pungutan
liar. Jangan lupa meminta tiket masuk setelah membayar di gerbang kedatangan,
karena jika tidak diminta maka petugas terkadang lupa memberikan tiket masuk,
alhasil kita akan dimintai uang registrasi untuk kedua kalinya ketika akan
parkir.
Setelah
makan siang, saya dan teman-teman kembali melanjutkan perjalanan. Setelah
memarkirkan sepeda motor di parkiran Ecolodge Bukit Lawang, kami masih harus
menempuh perjalanan lebih kurang 2 kilo meter. Sepanjang perjalanan kami
melewati penginapan-penginapan dan perkebunan sawit dan karet penduduk.
Setelah
menpuh perjalanan selama dua puluh menit, kami berenam sampai di pintu gua yang
dijaga oleh seorang bapak paruh baya yang tengah duduk di dipan kayu beratap
nipah. Kami harus membayar biaya masuk sebesar sepuluh ribu rupiah per orang.
Kami berasumsi bahwa biaya itu digunakan untuk biaya perawatan dan kebersihan.
Hal
pertama yang saya rasakan begitu melewati pintu gua adalah temperatur udara
yang lebih rendah. Cahaya hanya berasal dari pintu gua dan senter kepala yang
kami gunakan. Semakin dalam melangkah, batu-batu yang kami lalui semakin besar
dan licin namun belum terlihat
tanda-tanda kehidupan kalelawar.
Semaikin
jauh ke perut gua, kondisi semakin gelap dan kami hanya bisa mengandalkan
senter. Stalagtit dan stalagmite yang mencuat dari lantai dan langit-langit gua
semakin banyak terlihat. Batuan mineral itu memancarkan cahaya berkilau-kilau
ditimpa cahaya senter.
“Awas
terpeleset, batunya licin.” Ancha mencoba mengingatkan teman-teman yang mulai
asik berfoto dan memperhatikan stalagtit dan stalagmit yang berpendar beragam
warna, mulai dari putih seperti garam halus hingga hijau dan coklat.
Saat
suara kalelawar terdengar semakin melengking, perlahan-lahan saya mengarahkan
senter ke langit-langit gua. “Subhanallah.” Ratusan bahkan ribuan kalelawar
bergelantungan di langit-langit gua. Tidak seperti yang saya bayangkan, ukuran
kalelawar itu kecil namun berdempetan satu dan lainnya. Beberapa yang mungkin
agak terganggu dengan kehadiran kami beterbahan di atas kepala.
Semakin
dalam, gua semakin terasa basah, batu-batu besar digantikan aliran air bening
yang merembes di dinding gua. Menurut cerita penduduk, gua ini dulunya
dijadikan tempat persembunyian gerilyawan. Jauh di ujung gua, kami menemukan
semacam muara aliran air yang berisi ikan –ikan kecil dan kodok hijau.
Menurut
saya, gua kalelawar ini sangat unik, bukan hanya karena spesies hewan yang
memutuskan untuk menjadikannya rumah, namun juga endapan batu mineral yang
sangat unik yang pastinya terbentuk setelah ratusan tahun. Namun sayang, banyak
bagian gua yang mulai keropos, bahkan langit-langit gua dibagian tengah sudah
runtuh. Hal ini tidah hanya membahayakan pengunjung namun juga merusak fungsi
gua. Masih menurut warga sekitar, kalelawar yang menempati gua sudah jauh
berkurang sejak beberapa tahun yang lalu. Padahal jika dirawat dengan baik, gua
kampret ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi
tempat tujuan wisata.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Lovely Holiday
Comments
Post a Comment