Cinta Seekor Tarantula

Aku Cuma bisa bungkam, dalam genggamanku ada jemari keriput yang erat mencengkram. Tak ingin berpisah meski dalam diam. Terbujur didepanku, sesosok tubuh menggelambir yang dilengan kanannya tersulur selang putih berisi cairan bening kemerahan, sedang lewat hidungnya nafas berat menyesakkan di hembuskan. Dadanya turun-naik, kadang cepat, tak jarang amat lambat, sedangkan rambutnya yang keperakan tergerai tutupi bantal.
Tak seorangpun tau, dan aku tak peduli ada yang tau atau tidak. Cintaku pada tubuh tua di atas ranjang berseprai putih itu laksana jejaring laba-laba yang menggantung membentuk jelaga. Jauh tak terjangkau, tipis tak terlihat, namun kuat melekat membenam nun jauh di sel-sel sensorik, juga motorik tubuh. Melilit hatinya yang merapuh, membingkai ingatan yang melapuk.
Aku masih menggenggam jemari keriput itu, saat pintu berdecit dan seorang wanita berpenampilan menarik perlahan masuk. Tangan kanannya menjinjing kantong plastik berwarna putih. Dingin dilemparnya sekilas pandang kearah ku. Namun sial baginya, aku sedang malas disapa meski hanya dengan kerling tak sengaja.
Di depanku, mata tua ibu mulai membuka. Ada selapis cairan kental kekuningan menggantung di ujungnya. Aku coba tersenyum membelai rambutnya, lalu menganbil selembar tissue basah untuk membersihkan kotoran disudut matanya. kulakukan itu, dengan tetap menggenggam jemari keriput ibu.
“Ibu udah kau kasi makan, Yan?” wanita berpenampilan menarik yang kini tengah membaca majalah di sudut kamar mengagetkanku.
“Ibu nggak mau makan.” Itu saja  jawabanku, singkat.
“ Jelas ibu nggak mau makan kalau yang nyuapin kamu.” Wanita itu mencibir “Udah jarang pulang, jarang nengokin ibu, denger ibu sakit juga nggak langsung balik. Ntar ibu meninggal, baru kau nyesal.”
Aku Cuma diam mendengar celoteh kakak keduaku itu. Nyatanya memang benar, aku jarang pulang dan nggak langsung pulang saat penyakit ibu tambah parah dan akhirnya harus dibawa kerumah sakit. Kakak ku perlahan mendekat, membancuh bubur instant dengan air hangat. Lalu dia menyuapkan gumpalan bubur berwarna kuning kecoklatan itu ke mulut ibu. Tapi nyatanya, mulut itu tak jua menganga, bahkan tambah erat terkatup. Tatapan ibu kosong, berkaca-kaca meski aku yakin tak ada air mata disana.
Saat ibu tetap tak mau makan, wanita cantik berkemeja krem itu membanting piring ditangannya. “Pasti ibu mual karna ada kau di sini, biasanya ibu paling senang ku suapi.”
Lama ku pandangi wajah ibu, sementara kakakku sudah pergi tanpa permisi padaku. Tiba-tiba pintu kamar berdecit lagi, kakak pertamaku masuk sementara kelopak mata ibu sudah kembali mengatup. Dia tampak terperanjat melihatku duduk disamping ranjang ibu. Lalu, ntah sadar atau tidak Tanya terlontar dari bibir tipisnya “Kapan datang?”
“Lepas subuh.” Jawabku cepat, seolah jawabab itu tabu tuk aku ucapkan.
“Mau berapa hari disini?” kakak tertuaku melepas jaket tipisnya lalu beranjak menata buah dan roti yang di bawa kakaku nomer dua.
“Lepas maghrib juga udah balik. Ada tugas nggak bisa ditunda.” Jawabku.
“Kau itu, pergi-pulang mirip tamu hotel saja kelakuanmu. Udah nggak sayang kau sama ibu?”
Aku diam, hanya diam. Biar saja tidak ada yang tau. Cintaku pada ibu memang hanya segumpal jejaring laba-laba. Tak apa, tak apa, aku yakin ibu pasti maklum. Ku genggam jemari keriput itu, kubawa ke sisi pipi kanan, lalu kebenamkan dalam kecupan yang dalam.

******
Kelopak mata ibu tengah mengatup saat aku kembali datang , kutatap lekat kewajah ibu, lalu beranjak menuju meja disamping tempat tidurnya. Ku keluarkan barang-barang yang yang barusan ku beli tanpa mengacuhkan  tatapan heran kakak-kakak ku. Bedak tabur, minyak angin serta setumpuk kertas yang awalnya tergeletak berantakan diatas meja , ku selusupkan dalam laci dibawahnya. Perlahan ku  sapu permukaan meja kayu itu dengan kain basah, lalu kulapisi dengan taplak warna merah. Ditengahnya kuletakkan sebuah guci kecil berisi tiga tangkai mawar.
“Apa-apaan kau, Yan?” kakak tertuaku berang
“Mengganti suasana kamar ibu. Biasanya baik untuk masa penyembuhan.” Jawabku gamblang.
“Kau mau bilang, kalau kami nggak becus ngejagain ibu?” kakak keduaku angkat suara “Tau apa kau soal ibu? Kami yang lebih lama ngejagain ibu, kami jauh lebih tau.”
Nafas kedua kakak ku tersengal-sengal, sedangkan aku sedikitpun tak berniat memberi tanggapan. Untunglah seorang perawat dengan baskom air  hangat ditangannya masuk ke ruangan, membuat kami bertiga seketika bungkam.
“Saya saja.” Kuambil baskom dan lap basah dari tangan perawat, sedang kakak ku masih terlihat masam di depan kusen jendela yang menghadap jalan raya.
Perlahan ku usapkan kain basah ke lengan ibu, lalu menjalar menuju dadanya yang menggelambir, sebelum berhenti di ujung jemari tangannya. Kulalukan berulang-ulang hingga lipatan-lipatan kulit yang kenyal dan lembek itu bersih dari daki-daki debu jalan. Meski tak ku tampik, sesekali aku takut mengoyak kulit yang lembek itu.
Ku usapkan minyak angin ke sekujur tubuhnya sebelum menaburkan bedak bubuk. Lalu ku selubungkan sepotong selimut merah hati untuk menutupi tubuh renta itu. Lama kupandangi wajah tuanya yang tak pernah tersenyum menatapku, ku genggam jemarinya yang bebas dari selusur infus berisi cairan merah bening. Ku baringkan kepala ke lengannya yang mengisut dari hari ke hari. Tak sadar, sebongkah kristal bening terjun bebas dari kelopak mataku.
Saat ini, aku hanya ingin ibu bangun. Menatapku meski tanpa sorot cinta, menyentuhku meski tanpa kasih, memanggil namaku meski dalam amarah yang meluap. Aku hanya ingin ibu bangun lalu menghardikku pergi.
Tak lama berselang, pintu kamar terkuak lebar. Serombongan wanita berkerudung  dengan pakaian muslimah berwarna mencolok memasuki kamar. Tanpa menggubrisku, mereka menyeruak dalam pelukan kakak pertamaku. Saling menyapa, bertanya kabar, lalu mengungkapkan keprihatinan yang klise dan terdengar memuakkan.
“ Dia adikmu, yah?” seorang wanita berkerudung kuning bertanya pada kakak pertamaku.
Kakak hanya mengangguk. Ntah apa yang pernah diceritakan kakak pada mereka. Pastinya semua memandangku dingin, jijik bahkan sebagian langsung memalingkan mata.
Terserah, aku tak peduli. Diriku memang terlihat menakutkan. Biar saja mereka takut, biar saja mereka enggan. Aku memang suka sendirian. Sangat suka sendirian.
” Ngapain dia kesini, Yah?” Tanya yang lain
“ Ngeliat ibu. Paling Cuma bentar udah pergi lagi. Mana mau dia capek-capek ngejaga ibu.” Kakak ku menjawab lugas
Aku terdiam, hanya bisa diam. Biar saja mereka mengataiku macam-macam. Aku memang mengerikan, bahkan cintaku pun tak pantas diperlihatkan. Biar saja. benang merah yang menghubungkanku dengan kakak pertama terputus tiba-tiba.

*********
“Dian mau mobil-mobilan, Bu.” Air mataku menggenang.
Tapi ibu tak menatapku, dia berjalan setengah berlari mendatangi kasir sambil maembawa tiga buah boneka dengan bentuk yang sama namun warnanya berbeda. Aku berlari menyusulnya, tapi kaki kananku yang terkilir membatasi gerakanku.
Ibu tak pernah menuruti keinginanku, tak pernah peduli bahwa sesungguhnya aku lelaki. Tambahan lagi, ayahku meninggal tak lama setelah aku lahir, jadilah aku tinggal dalam keluarga yang semuanya perempuan.
Aku tak pernah diizinkan keluar rumah, ibu takut aku berkelahi dengan anak tetangga. Ibu takut, aku mengikuti jejak ayah yang selalu menyusahkannya dengan segala judi dan mabuk-mabukan. Ibu tak juga pernah mengijinkanku bermain mobil-mobilan dan pedang-pedangan, lagi-lagi dia takut aku menjadi keras kepala dan pemberontak seperti ayah. Wanita itu lebih suka aku tumbuh di dapur dan bermain boneka seperti kedua kakak ku, dia berharap aku tumbuh menjadi pemuda berhati lembut  dan penyayang. Aku tau, bahkan jauh sebelum dia mengatakannya, bahwa dia menyayangiku meski dengan cara yang berbeda.
Hingga akhirnya tiga tahun yang lalu, tetangga dan keluarga membuatnya resah. Karna hingga saat itu, aku tak pernah bergaul dengan wanita. Dipaksa dengan cara apapun aku tetap tak bisa. Bukan aku tak ingin, tapi naluri kelelakianku sudah mati suri. Ntah karna begitu rindunya aku pada wujud lelaki yang tak pernah mampu ku miliki, atau karna pribadi wanita yang telah mengakar dihati, perlahan namun kusadari aku jatuh cinta pada jenis ku sendiri.
Sering aku bertafakur dengan mukena yang menutupi kepala. Bertanya pada tuhan, siapa yang harus kupersalahkan. Ayah yang telah begitu banyak menyakiti ibu, hingga dia mendidikku seperti wanita. Atau ibu yang begitu mencintaiku hingga dia tak ingin aku terluka. Mungkin juga kakak-kakak ku yang selalau menyalahkan, atau aku sendiri yang tak mampu membentengi diri.
Tapi ayah sudah lama berbaring tenang, ibu juga tak mungkin kupersalahkan hanya karna dia terlalu mencintaiku. Ah, naif jika ku persalahkan orang lain, tapi aku juga tak rela dipersalahkan atas kesalahan yang tak pernah ku lakukan

*******
Duhai wanitaku,
Tlah ku gadaikan kaki
Tuk sejajari kepak sayapmu
Tuk dapat menangkap harum kasturi
Dari sorot matamu
Ku juga tanggalkan jubah jejaka
Tuk menatap sore
Di lengkung senyum mu

Tapi kau malah remukkan sayapku
Saat diri tak lagi mampu berdiri
Kau pinta ku berlari
Saat tak lagi punya kaki

Duhai Ibu,
Mengapa lengkung senyum mu
Tak pernah rebah dimataku

Terpasung hati melihat segunduk tanah merah didepanku. Tanah merah yang masih basah, tertutupi helai-helai kamboja yang gugur tertiup angin. Banyak orang disekelilingku, berselendang hitam, berkopiah hitam, membawa Al-quran mini di tangan atau sekedar menjinjing bunga dalam keranjang. Banyak orang, namun aku merasa sendirian. Aku membeku dalam diam berkepanjangan, aku rapuh dalam kosong yang mencekam.
Tanah merah itu ku genggang erat-erat, ingin rasanya membongkar makam itu, mencumbui jasad yang terbaring kaku di dalamnya. Ingin ku cabut nisan itu, lalu ku benamkan dalam genangan kolam di belakang taman. Tapi aku terlalu kuyu, terlalu lemah, terlalu bodoh, bahkan untuk menghadapi diriku sendiri.
“Pulang, Yan?” kakak kedua ku menyentuh pundakku perlahan.
Aku menggeleng.
“Apa pula ini? Kau mau minggat lagi?” wanita itu berubah berang “Belum lepas sehari pemakaman ibu, dan kau mau minggat lagi? Meninggalkan kami dengan rentetan pertanyaan tetangga tentang anak laki-laki ibu yang biseksual?”
Aku menatap matanya lekat “Aku toh cukup menyusahkan selama ini. Kalian ingin aku pergi kan? Sekarang aku akan pergi.”
“Kami maunya kau berubah, Yan.”suara kakakku melunak
“Berubah? Setelah lima belas tahun dibesarkan sebagai seorang perempuan, diajari berlakon sebagai perempuan, kalian suruh aku kembali normal?” aku menatap matanya, tajam. Tiba-tiba saja ada hantu bersayap hitam beterbangan di atas kepalaku.
“Ibu ingin kau berubah, yan.”
“Ibu ingin,” aku menelan ludah “Semua anaknya perempuan.”
Kakak menatapku tajam, seperti ada pisau meluncur lewat matanya. “Ibu ingin kau kembali normal, Ibu saying kau,Yan.”
Aku tertunduk, terpekur menatap tanah, menatap gundukan merah yang dipenuhi bunga kamboja. “ Aku Sayang Ibu, sayang sekali.”
“Berubahlah, Yan.” Wajah wanita itu mendekat, hingga hembusan nafasnya yang basah menepel ke pipiku.
Aku menggeleng pelan, bahkan amat pelan. Tapi ntah mengapa, itu membuatnya berang. Di dorongnya aku hingga mencium tanah. “Dasar keras kepala. Benar kata kakak, kau itu payah. Aku masih berbaik hati memberimu kesempatan untuk berubah. Tapi kalau itu menyusahkanmu, pergi saja jangan pulang-pulang. Ingat, sekali kau melangkah pergi, jangan pernah kembali jika kau belum bisa berubah. Asal kau tau, ibu pun mungkin senang kalau kau nggak kembali pulang. Kau tau, hidupmu cuma mencoreng nama keluarga.”

Dia pergi, tanpa berpaling lagi. Sementara aku mencengkram gundukan tanah ibu, menempelkan tubuhku di tanah basah itu. Berandai-andai, sekali lagi saja, ibu mau memelukku. Memelukku hangat, memelukku sambil membelai rambutku yang tertutupi kerudung hitam.***
________________

Harian Analisa Medan

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Kenangan

Napak Tilas Menulis Blog

Tak Mampu Berpaling dari Makanan Enak dan Segala yang Lucu